Thursday, 30 September 2010 10:20
Memperingati setahun gempa Sumbar yang pernah luluh lantak
Hidayatullah.com--Hari ini, 30 September, adalah hari tak terlupakan bagi saya dan khususnya bagi warga Sumatera Barat (Sumbar). Pasalnya, di hari ini, Sumbar digoncang gempa 7,6 skala richter. Ratusan jiwa melayang, ribuan rumah dan gedung hancur. Tidak hanya itu, saat itu, di mana warga Sumbar masih diliputi kebahagiaan lebaran, tiba-tiba berubah menjadi petaka jerit tangis dan air mata. Kesabaran warga negeri para buya ini betul-betul diuji Allah SWT.
Ketika petaka itu terjadi, saya sedang berada di rumah di Palembang bersama keluarga menikmati sisa-sisa idul fitri. Kebetulan, redaktur kami di Surabaya, Jatim, memintaku datang ke Padang untuk reportase. Permintaan itu langsung saya terima. Allhamdulillah, apa yang saya rekam selama di Padang masih teringat.
Tak menunggu lama setelah diminta reportase, esok harinya saya langsung mencari bus jurusan Palembang-Padang. Kebetulan, menurut sopir bus, jalur Palembang-Padang sudah bisa dilewati setelah sebelumnya ditutup gara-gara tertimbun longsor. Siang menjelang zuhur, saya pun berangkat.
Bus yang saya naiki ternyata sudah penuh penumpang. Di bagian depan tak terlihat ada bangku kosong. Nampaknya nomor kursi di tiket tak berlaku. Ya, ini memang bus ekonomi. Untung saja, di bagian belakang tersisa satu. Tapi tetap harus berdesak-desakan. Bus ini tak ber-AC. Udara pengap bercampur keringat para penumpang. Sekilas, terlihat seluruh wajah para penumpang yang tak lain warga Padang itu tegang dan panik. Tak ada senyum.
Yang terdengar hanya beberapa kali ada yang menelpon famili mereka di Padang. Ia bertanya keadaan mereka. Ada kekhawatiran yang dalam. Karena saya tak paham bahasa Padang, jadi tak tahu banyak apa yang dibicarakan.
Di sebelah kiri, saya ditemani bapak-bapak. Umurnya kira-kira 50 tahun. Tak banyak bicara, sejak dari keberangkatan hingga Padang bapak tersebut hanya diam. Di sebelah kanan saya seorang gadis usia sekitar 18 tahun. Ia memangku adik kecilnya. Letih, pucat dan panik nampak di gurat-gurat wajahnya.
“Uni turun di mana,” tanyaku.
“Turun di Padang Panjang, uda” jawabnya.
Gadis yang sudah lama merantau ke Palembang ini ingin memastikan keadaan keluarga.
“Alhamdulillah keluarga selamat semua. Cuma rumah yang rusak kena gempa,” ujarnya. Sekitar tiga jam perjalanan, bus lalu berhenti di sebuah RM Padang. Sebagian besar penumpang mengambil air wudhu lalu shalat.
Wajah-wajah di balik gempa
Sebuah pemandangan yang membuat mata tak berkedip. Baru kali ini saya melihat gedung-gedung tinggi, megah dan kokoh retak dan ambruk. Dari sekian banyak gedung yang ambruk dan menelan banyak korban adalah hotel Ambacang. Hotel megah ini ambruk. Dari enam tingkat, tinggal sisa dua lantai, lima dan enam. Selebihnya amblas ke dalam tanah, bertumpuk-tumpuk dan menjadi satu. Entah berapa data korban resminya, tapi kabarnya puluhan orang ikut tertimbun di situ.
Padang waktu itu betul-betul luluh lantak. Sejauh mata memandang, gedung-gedung kokoh dan megah yang retak dan roboh. Bahkan, tak jarang yang bernasib sama seperti hotel Ambacang. Di antaranya, gedung bimbel Gama yang terletak di Jl. Proklamasi Padang. Kebetulan, ketika itu saya bertemu dengan Miswanto, saksi mata yang sempat menyelamatkan beberapa murid di dalamnya. Ia pun bercerita banyak kejadian itu.
Penjual tahu Sumedang asal Cilacap Jateng ini, ketika itu baru saja menunaikan shalat Asyar di bagian belakang gedung tersebut. Namun, belum sempat duduk, tiba-tiba, Miswanto merasa jika bumi bergetar hebat. Takut jatuh, Miswanto berpegang ke gerobak tahu miliknya.
Tanpa diduga, Miswanto melihat gedung Gama bergoyang hebat. Kontan para penghuni di dalamnya berhamburan ke luar. Naas, para penghuni belum keluar semua, bagian depan gedung ambruk.
“Sulit dibayangkan. Ko bisa gedung itu ambruk seperti tumpukan gandum,” ujarnya.
Miswanto hanya dapat melihat asap tebal kehitaman mengepul ke atas. Tiba-tiba Miswanto melihat siswi berjilbab terjatuh dari lantai dua karena berdesak-desakan.
“Tolong-tolong,” hanya suara itu yang terdengar.
Usai bagian depan ambruk, disusul kemudian bagian yang lain. Hingga terperangkaplah penghuni yang lain. Suara teriakan dan minta tolong terdengar keras dari dalam gedung. Hati Miswanto bergetar. Ia tak hiraukan bahaya bangunan yang siap merenggut nyawanya kapan saja. Pria berbadan sedang ini merangsek masuk. Puing-puing bangunannya ia terobos.
Ia pun menyelamatkan delapan siswa yang terperangkap. Satu per satu ia gendong. Sayang, ada seorang anak yang tak bisa diselamatkan. Ketika itu ia melihat seorang siswi terjepit di balik reruntuhan gedung. Karena jepitanya terlalu kuat, jadi sulit diselamatkan.
Siswi tersebut tak henti-hentinya berteriak minta tolong.
“Tolong saya pak. Tolong keluarkan saya,” kenang Miswanto. Karena takut gedung tersebut ambruk dan terjadi Tsunami, akhirnya siswi tersebut gagal diselamatkan. Miswanto mengaku, wajah siswi tersebut terkadang hadir di hadapanya.
“Ia datang seraya minta tolong,” ujarnya.
Jadi janda
Jika di kota, akibat gempa hanya mengakibatkan gedung-gedung ambruk, lain halnya yang terjadi di daerah pedesaan pegunungan. Di derah pegunungan, seperti di dusun Sumanak, Kec. Patamuan. Kab. Padang Pariaman rumah para warga habis tertimbun longsor. Puluhan orang meninggal. Anak-anak menjadi yatim, istri menjadi janda.
Seperti yang dialami Ite Wirdad (38), ibu dua anak dari warga dusun Sumanak. Tak ada firasat apapun sebelumnya. Ite dan dua anaknya ketika itu sedang asik makan. Tiba-tiba, rumah Eti bergoyang kencang. Hampir saja tubuhnya terjatuh jika tak berpegangan tiang rumah.
Untung saja, Ite segera sadar jika sedang terjadi gempa bumi. Mengetahui hal itu, Ite langsung mengajak kedua putrinya, Novia Susanti (kelas dua SMP) dan Meri Destiana Putri (kelas 5 SD) ke luar rumah. Saking takutnya, Eti langsung menarik lengan Meri dengan keras. “Saking takutnya, saya tarik lengan Meri hingga lenganya terkilir,” ujarnya.
Setelah keluar rumah, mereka langsung lari sekencang-kencangnya menuju sawah. Dari kejauhan, Eti hanya bisa memandangi bagian dapur rumahnya yang ambruk. Tapi, belum sempat semuanya ambruk, Ite dan kedua anaknya lari jauh. Akhirnya mereka selamat. Tapi tidak demikian dengan suaminya, Wartin (38). Lelaki sandaran hidupnya itu meninggal tertimbun longsor. Ceritanya, ketika itu Wartin sedang di rumah ayahnya, Sahar (68). Rumah Sahar berada pas di bawah bukit, dan ketika longsor datang, maka mereka tidak sempat menyelamatkan diri.
Ite tidak hanya kehilangan suaminya. Ada enam saudara lainnya yang ikut tertimbun dalam peristiwa tersebut. Mereka adalah; Sahar (68) ayahnya, Sarunan (60) ibunya, Sarinan (38) anaknya, Angga (5), Saminar (35) dan Sahrial (37). Di antara ke tujuh yang meninggal itu, menurut Ite, baru satu yang ditemukan, yaitu Saminar.
Kini suami, dan sejumlah saudaranya telah tiada. Tak hanya itu, rumah dan sawahnya juga tertimbun longsor. Kendati begitu, Ite ketika ditemui di tenda pengungsian tahun lalu tak terlihat nampak bingung yang amat sangat. Sesakali senyum menghias di wajahnya.
“InsyaAllah sabar. Kami berdoa, semoga Allah selalu menolong kami,” ujarnya.
Hidup ibarat episode dalam drama. Terkadang bahagia, sedih dan berurai air mata. Layaknya sebuah drama, ada yang happy ending dan sad ending. Tapi, dalam drama hidup yang sesungguhnya cerita yang happy ending jika mampu meraih ridho-Nya.
Cerita di atas adalah ibroh berharga. Betapa Allah maha kuasa. Jika Ia berkehendak, maka tak ada yang menghalangi-Nya. Semoga kita menjadi hamba yang pandai mengambil pelajaran untuk menjadi kekasih-Nya. Amin. [anshor/hidayatullah.com]